Karateristik Budaya Dalam Interaksi sosial

Pembentukan Karakterik Budaya dalam Interaksi Sosial

Budaya memiliki empat karakteristik umum yang ada dalam setiap kebudayaan. Salah satu aspek penting dari budaya adalah simbol. Budaya selalu bersifat simbolik. Budaya juga tidak pernah hanya dimiliki oleh individu perorangan. Budaya selalu dikonstruksi secara bersama-sama oleh masyarakat. Ada masa ketika suatu praktik budaya bertahan melalui proses sosialisasi, tetapi pada saat lain budaya juga pasti akan mengalami perubahan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat.

1. Berbasis pada Simbol[1]

Ekspresi kebudayaan selalu berupa ekspresi simbolik karena yang penting dari budaya itu bukan ekspresinya tapi makna yang terkandung dalam ekspresi budaya. Sisi penting dari simbol adalah makna yang ditunjuk oleh simbol itu, bukan simbol itu sendiri.

Interaksi budaya adalah aktifitas saling memahami makna simbol-simbol yang dipertukarkan dalam proses interaksi sosial. Simbol-simbol itu dikembangkan dan dimaknai secara bersama dalam interaksi sosial.  

Simbol merupakan aspek penting dalam interaksi manusia yang memungkinkan manusia bertindak dengan cara-cara yang khas manusia. Respon-respon yang diberikan oleh manusia dalam menanggapi lingkungannya, baik lingkungan alam atau lingkungan sosial, bukanlah respon yang pasif. Manusia tidak sekedar merespon dengan cara meniru simbol-simbol yang diwariskan orang lain tetapi juga secara kreatif menciptakan atau mencipta ulang simbol-simbol dalam interaksi sosial.[2]

Simbol memiliki fungsi-fungsi penting dalam interaksi sosial: 1) simbol memungkinkan manusia menghadapi dunia atau obyek-obyek sosial dan nonsosial dengan mengungkapkannya melalui kata-kata, menggolongkan dan mengingatnya, 2) meningkatkan kemampuan manusia memahami lingkungannya, 3) meningkatkan kemampuan berpikir, 4) meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, 5) memungkinkan manusia melampaui waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri, 6) memungkinkan kita membayangkan realitas metafisik seperti surga dan neraka, 6) memungkinkan manusia menghindar dari diperbudak lingkungan[3]

2. Dimiliki Bersama [4]

Kebudayaan diciptakan dan dikembangkan oleh satu komunitas masyarakat tertentu secara bersama-sama, bukan kerja individual. Itu sebabnya suatu komunitas yang telah menetap di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang relatif lama akan mengembangkan ekspresi budaya yang bersifat khas dan berbeda dengan komunitas masyarakat lain. 

 Kepemilikan bersama suatu kebudayaan oleh komunitas memiliki jangkauan ruang dan waktu yang berbeda. Terdapat nilai atau ekspresi budaya yang diikuti oleh komunitas yang sangat luas seperti budaya negara atau bahkan budaya dunia. Budaya-budaya semacam ini biasa kita identifikasi sebagai nilai-nilai budaya universal. Pandangan bahwa menghilangkan nyawa orang lain merupakan perilaku yang tidak dapat dibenarkan adalah nilai budaya yang bersifat universal. Di sisi lain, terdapat nilai budaya yang ekspresinya bersifat terbatas dan lokal. Membunuh secara universal dianggap salah, tapi apa yang harus dilakukan terhadap seorang pembunuh tidak sama antara negara satu dengan negara lain. Satu negara dapat melegalkan hukuman mati bagi seorang pembunuh, seperti Saudi Arabia, tapi negara lain menganggap hukuman mati sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam konteks waktu, kepemilikan bersama terhadap kebudayaan juga beragam. Ada nilai-nilai dan ekspresi budaya yang relatif abadi, ada yang berlangsung secara singkat, bahkan sangat singkat. Budaya-budaya yang relatif abadi adalah budaya yang berasal dari kearifan agama. Islam, Katolik, Protestan dan agama-agama lain di dunia mengembangkan nilai-nilai dan ekspresi yang sama dan berlangsung dalam waktu yang relatif abadi. Misalnya, konsep ketuhanan dalam agama-agama (contohnya konsep tauhid dalam Islam) cenderung bersifat abadi. Di sisi lain terdapat ekspresi budaya yang hanya dimiliki bersama oleh suatu komunitas dalam waktu yang terbatas. Misalnya, mode berpakaian yang selalu berubah dari waktu ke waktu.

Kepemilikan bersama kebudayaan membuat budaya mampu melampaui ruang dan waktu. Dalam konteks ruang, ekspresi budaya yang muncul pada satu wilayah tertentu dapat saja berkembang dan diikuti oleh banyak orang di wilayah lain. Karena itu, kita dapat membedakan suatu komunitas bukan didasarkan pada ruang atau wilayah tapi didasarkan pada kepemilikan bersama suatu kebudayaan. Kita dapat mengidentifikasi orang Islam dan non-Islam bukan dari wilayah di mana dia tinggal tapi dari ekspresi budayanya seperti ritual Sholat dan puasa Ramadhan. Dalam konteks waktu, kemampuan budaya melampaui waktu diwujudkan dengan keabadian relatif budaya tersebut. Bahkan dalam sejarah, terdapat nilai-nilai budaya lama yang kemudian hendak dihidupkan kembali seperti momen sejarah renaissance yang mencoba menghidupkan kembali warisan budaya klasik Romawi dan Yunani agar dapat keluar dari kegelapan abad pertengahan. Dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, kita juga dapat menyaksikan ekspresi keagamaan yang hendak menghidupkan warisan budaya masa lalu secara sangat ketat, seperti sebagian kelompok muslim yang menyerukan kembali pada tradisi dan budaya pada masa Nabi dan Sahabat, termasuk dalam hal penampilan seperti memelihara jenggot dan berpakaian ala Nabi dan sahabat dengan jubah dan celana di atas mata kaki.

3. Dipelajari dan Diwariskan[5]

Kebudayaan dipelajari dan diwariskan melalui proses interaksi sosial. Proses ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi menunjuk pada proses penyampaian nilai-nilai kebudayaan dari masyarakat pada individu-individu yang menjadi anggota masyarakat.

Proses sosialisasi itu dilakukan oleh agen-agen sosialisasi. Agen sosialisasi terutama adalah orang-orang yang secara sosial dilegitimasi oleh masyarakat untuk menjadi penjaga nilai-nilai budaya dalam masyarakat seperti kyai, guru atau tokoh adat. Selain itu, sosialisasi juga pertama dan terutama sekali dilakukan di dalam institusi keluarga dengan orang tua sebagai agen utama sosialisasi. Selain agen sosialisasi yang memang dilegitimasi secara sosial, sebetulnya setiap indidu dalam masyarakat juga dapat menjadi agen sosialisasi.

Proses pewarisan kebudayaan ini menjamin kelestarian kebudayaan. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk melestarikan kebudayaan yang dimilikinya sehingga dapat mencapai tingkat kemapanan tertentu.

4. Bersifat Adaptif

Kebudayaan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan. Tingkat kemampuan itu berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Ada masyarakat yang memiliki budaya dengan kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Ini karena nilai-nilai budaya yang dimiliki cenderung bersifat lentur dan terbuka. Masyarakat perkotaan sebagian besar termasuk dalam kategori ini. Sebaliknya, ada masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya yang cenderung tertutup sehingga kemampuan adaptabilitasnya rendah. Beberapa komunitas masyarakat adat di Indonesia masih mempertahankan keasliannya di tengah perubahan sosial yang luar biasa seperti di Kampung Naga Jawa Barat.

Kemampuan adaptabilitas juga berbeda-beda pada elemen budaya yang berbeda. Elemen budaya tertentu yang bernilai sakral cenderung memiliki kemampuan adaptabilitas yang lebih rendah daripada elemen budaya lain yang tidak dipandang sakral oleh masyarakat. Keyakinan keagamaan adalah sesuatu yang dianggap sakral, sebab itu relatif tidak banyak mengalami perubahan, sementara elemen budaya seperti gaya hidup atau gaya berpakaian yang tidak dianggap sakral memiliki daya lentur yang sangat luar biasa sehingga perubahannya juga luar biasa cepat.

Kebudayaan memang diwariskan dan dilestarikan, hanya saja manusia tidak sekedar menerima dan mewariskan kebudayaan tapi juga merubahnya. Perubahan itu dilakukan dalam rangka proses adaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Itu sebabnya, cerita tentang kebudayaan adalah cerita tentang perubahan-perubahan.

 

Catatan Kaki

*) Beberapa bagian dari tulisan ini pernah saya tulis juga dalam Muchammad Ismail dkk, Pengantar Sosiologi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013), 27-42

[1] “Culture”, Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 CD-Rom Edition

[2] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), 292.

[3] Ibid., 292-293

[4] “Culture”, Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 CD-Rom Edition

[5] Ibid

Postingan populer dari blog ini