Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I
SOSIALISASI FOGIPSI MEMBANGUN KEKUATAN GURU
DAN SEMINAR SEHARI
“ PERAN PENTING LABORATORIUM IPS DAN TIK DALAM PEMBELAJARAN IPS DI SMP”
Di Gedung Pertemuan
Bina Marga Jl. RE Martadinata no 119 Bandung
Sabtu, 14 Mei 2016
Siapa yang akan melindungi
hak-hak guru? Pertanyaan ini semakin sering mencuat ke permukaan, menyusul kian
banyaknya kasus-kasus yang mendera guru, baik guru sebagai pribadi maupun guru
secara profesi. Jawaban pun perlu segera dicari dan disimpulkan jika nasib dan
citra guru tidak memburuk dan kehilangan kharismatiknya sebagai seorang
pendidik.
Seabreg peraturan guru sudah
dibuat oleh pemerintah, termasuk hak-haknya yang harus dipenuhi dan dilindungi.
Kabar teranyar, Presiden Joko Widodo pun akan mengeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) terkait tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Namun dipastikan
aturan tinggal aturan jika tanpa ada komitmen untuk melaksanakannya.
Suasana kebatinan guru tersebut
sudah mulai terasa sejak era keterbukaan dan kebebasan berlangsung pada tahun
1998. Sejak itu semua orang merasa paling benar, sedangkan orang lain salah.
Orang banyak menuntut hak tetapi mengabaikan kewajiban menghormati hak orang
lain. Sejak itu ancaman dan kekerasan sudah menjadi bagian dari dunia
pendidikan negeri ini.
Bukan hanya guru versus siswa dan
orangtuanya. Sebagai sub sistem guru kerap menjadi pihak yang paling merasakan
dampak negative kebijakan pendidikan. Apakah kebijakan dalam lingkup sekolah
dibawah kendali kepala sekolah, dibawah kuasa kepala Dinas Pendidikan dan
kepala daerah, maupun dalam cakupan nasional. LSM dan wartawan berandal tidak
lagi bersahabat menjadi mitra guru dalam mencerdarkan anak bangsa.
Pada posisi yang sulit guru
seolah tak berdaya menghadapi sistem yang membelenggu mereka. Seakan takdir
menjadi jeritan hati yang harus diterima dengan nasib yang dijalaninya.
Menyatakan sikap terhadap kedzoliman dianggap sebuah pembangkangan yang penuh
resiko. Apalagi harus berpolitik organisasi suatu kegiatan yang akan membuat
dirinya dicap bukan guru professional karena sering meninggalkan siswa
dididiknya.
PERJUANGAN KEPENTINGAN
Masih banyak guru masa kini namun
mimpi masa lalu.
Mereka belum bangun tersadar
bahwa negeri ini sedang gandrung hidup di era demokrasi baru, demokrasi yang
kebablasan. Sebuah masa dimana satu kelompok dengan kelompok lainnya saling
bahu membahu, saling bersaing dan berlomba bahkan saling sikut menyikut demi
memperjuankan kepentingannya. Mereka yang berhasil memperjuangkan
kepentingannya maka kelangsungan hidupnya tetap aman sentosa.
Lalu siapa yang memperjuangkan
kepentingan guru? Selama ini guru terlanjur berfikir positif dengan mereka yang
mengaku akan memperjuangkan hak-hak guru. Guru merasa percaya kepada mereka
yang katanya akan memperhatikan kesejahteraan guru. Sekalipun itu benar namun
nyatanya hati guru tetap was-was dan dag dig dug dengan segala kebijakan yang
makin hari makin tidak menentu, dengan segala aturan, mekanisme dan birokrasi
yang terus berubah.
Era demokrasi adalah era
perjuangan kepentingan kelompok-kelompok. Mereka yang tidak merapatkan barisan
dalam satu kelompok boleh jadi akan mudah tersingkir atau bahkan tergilas dan
tertindas. Maka hidup berorganisasi bagi guru di era demokrasi sekarang adalah
sebuah keniscayaan, apapun posisi kita dalam organisasi tersebut tidaklah
penting. Jangan sampai yang terjadi, kejahatan yang terorganisir akan mudah
mengalahkan kebenaran yang tidak berjamaah.
Jangan dikira kesejahteraan guru
saat ini dinikmati tanpa perjuangan dan pengorbanan. Tanpa “kekuatan politik”
guru di parlemen mustahil guru sekarang bisa lebih sejahtera dari era jaman
Oemar Bakri. Ujian Nasional yang nyaris dihentikan karena gugatan hukum warga,
namun berkat lobi politik hajat nasional tahunan itu pun tetap berjalan hingga
kini.
ORGANISASI GURU
Sejak era reformasi banyak lahir
organisasi-organisasi guru. Baik berbasis profesi, berbasis kampus, maupun
berbasis mata pelajaran. Dulu hanya ada PGRI, kini sudah lahir IGI dan
sejenisnya. Guru-guru mata pelajaran pun merapatkan barisan, tidak hanya puas
mengelompokkan diri dalam forum MGMP atau KKG lingkung daerah tetapi sudah
membuat asosiasi, ikatan dan forum.
Organisasi guru tidak semata
dipahami sebagai media dan wadah pengembangan sisi keilmuan. Tetapi dalam upaya
peningkatan profesionalisme guru, baik keilmuan dan kesejahteraan, diperlukan
perjuangan kepentingan secara terorganisir. Tentu saja perjuangan demi
kemaslahatan dan kemajuan dunia pendidikan yang dinikmati banyak orang, bukan
hanya segelintir orang. Nah upaya itu sedang dilakukan berproses oleh
rekan-rekan guru IPS, Ilmu Pengetahuan Sosial.
Organisasi guru seperti Forum
Guru IPS seluruh Indonesia (Fogipsi) bisa disebut media pembelajaran bagi
mereka. Belajar tentang realitas ilmu sosial sebagai sumber berharga bagi anak
didiknya di sekolah. Bukankah ada ungkapan yang menyebutkan, seorang pendidik
jangan pernah berhenti belajar. Melalui organisasi tersebut guru IPS akan
berkembang sebagai pendidik yang berkarakter dan realistis dalam memberikan bekal
keilmuannya kepada siswa.
Kita sudah cukup banyak belajar
sejarah para tokoh nasional pada masa perjuangan kemerdekaan. Mereka para
pendidik harus turun gunung untuk ikut menata dan memperbaiki sistem,
“berjihad” melawan penyimpangan untuk kembali ke jalan yang lurus. Sekalipun
harus mengangkat senjata, mengorbankan tenaga, pikiran, tenaga bahkan harta dan
nyawa.
Sebagai guru yang memiliki
interdispliner ilmu sosial, ada banyak pekerjaan rumah yang harus menjadi
agenda perjuangannya. Perjuangan memberikan solusi terhadap fenomena dan
masalah sosial, seperti masalah profesionalisme guru, kemiskinan, kesenjangan,
kenakalan, kriminalitas, korupsi, pemberdayaan ekonomi, kerusakan alam dan
sebagainya. Kontribusi ide, gagasan, program dan tindakan tidak bisa terurai
dan tersalurkan manakala guru hanya berdiam diri di dalam kelas: mengajar dan
pulang.
Bersyukur kepengurusan FOGIPSI
wilayah Jawa Barat sudah terbentuk pada Sabtu 14 Mei 2016 di Bandung. Guru-guru
IPS Jawa Barat bersama FOGIPSI wilayah lainnya akan menjadi kekuatan baru dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Kekuatan yang akan mengembalikan martabat dan
kesejahteraan guru serta memajukan pendidikan dan peningkatan kualitas moral
intelektual guru. Jika bukan kita, siapa lagi. Jika tidak sekarang kapan
lagi. Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I (*)