Heutagogy ( self determined learning)

"Bukan ilmu yang harus datang kepadamu, tapi engkaulah yang seharusnya datang menjemput ilmu."

Fenomena yang terjadi banyak sekali dalam kegiatan seperti seminar. Workshop dan  jenis diklat lainnya tentang pebelajaran era 4.0  namun Konsekuensi logis TIDAK ADA satu kata antara konsep (teori) dan praktek (aksi nyata). Membicarakan tentang pendidikan modern TETAPI tetap kembali mempraktekkan pendidikan manual based.

Padahal di era pembelajaran saat ini sudah tdk lagi pembelajar aktif mentransfer  ilmu pada  pebelajar tetapi sebaliknya.  Walaupun pendekatan  pembelajaran untuk jenjang dasar  dan menengah adalah pedagogik dan andragogik namun saat ini perlu di kenalkan pendekatan  Heutagogi. Hetagogyk  menawarkan kolaborasi aktif (double hands) untuk menentukan pembelajaran, meliputi konten apa yang tepat untuk dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya dan bagaimana bentuk penilaian yang akan digunakan untuk membuktikan bahwa suatu kompetensi baik pengetahuan maupun keterampilan sudah berhasil dikuasai dengan baik.

Pendekatan heutagogy baik  Learner dan teacher saling bertukar pikir tentang apa yang pas untuk dipelajari oleh pebelajar dan bagaimana cara membelajarkannya atau langkah-langkah pembelajaran dan sumber-sumber belajar apa yang digunakan untuk mencapai tujuan belajar yang sudah ditentukan tersebut. Dengan kata lain posisi pembelajar lebih sebagai katalisator,  motivator,  fasilitator atau mediator,  serta  konsultan pembelajaran.

Ketika Heutagogi menjadi sangat menarik untuk diimplementasikan, mengingat cara pandang yang diajukannya tentang pebelajar sebagai agen pembelajar aktif (active agent) yang memiliki kebebasan untuk menetukan sendiri belajarnya atau yang disebut self determined  learning. 

Hal ini agak sedikit berbeda dengan konsep yang ditawarkan pembelajaran konstruktif (Constructive Learning), meskipun sama cara pandamg  bahwa pebelajar adalah individu yang aktif (aktive learning)   yang mampu merekonstruksi pengetahuannya sendiri  melalui keaktifannya dalam proses pembelajaran.

Dalam pembelajaran konstruktif, yang  fokus utamanya sama dengan pembelajaran heutagogi, yaitu pada belajarnya pebelajar, bukan pada mengajarnya pembelajar, namun dalam pembelajaran konstruktif pebelajar masih kurang memiliki kebebasan dalam menetukan apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajari dan bagaimana mengukur dan menunjukkan bukti bahwa ia sudah menguasai suatu kompetensi tertentu tersebut yang semuanya masih  ditentukan oleh pembelajar  atau pada apa yang sudah disediakan sebagai satu-satunya pilihan.

Hanya saja dalam prosesnya pebelajar lebih diberikan kebebasan untuk aktif merekonstruksi pengetahuannya dengan melakukan beragam aktivitas pembelajaran, tidak hanya sekedar pasif menunggu dijelaskan oleh pembelajar.

Sedangkan konsep yang ditawarkan heutagogi, pebelajar diberikan kebebasan sejak awal untuk menentukan tentang apa yang akan dipelajari, bagaimana membelajari dan bagaimana membuktikan bahwa apa yang dipelajarinya tersebut sudah dikuasainya, meskipun dalam menetukan tersebut masih ada keterlibatan pembelajar (teacher) sebagai  konsultan belajarnya.

Namun, yang perlu untuk digarisbawahi bahwa dalam praktiknya heutagogi lebih menekankan pada tingkat kemandirian (higher level of autonomy) dan kematangan pebelajar dalam belajarnya, sebagaimana dijelaskan Blashcke (2012) bahwa tingkat kematangan belajar pebelajar (the learners maturity) memberikan pengaruh pada kebutuhan pendampingan belajarnya, yaitu semakin matang seseorang dalam hal kemandirian belajarnya, maka persentase kontrol pembelajar  harus semakin dikurangi.

Kesuksesan penerapan heutagogi hanya akan maksimal jika target belajarnya memiliki tingkat kemandirian dan kematangan belajar yang cukup tinggi yaitu memiliki visi belajar yang jelas, memiliki pemahaman yang baik tentang kecenderungan belajar dan gaya belajar (metacognitive skill) yang dimiliki.

Jika kesadaran penelajar minim maka ia akan kesulitan untuk menentukan (determine) tentang apa yang seharusnya  di pelajari dan bagaimana cara mempelajarinya serta bagaimana harus membuktikan bahwa ia telah menguasainya. Disisi lain Heutagogi  juga memprioritaskan pada tingkat peningkatan kapasitas dan kapabilitas kompetensi yg dipilihnya.   Kurangnya kemampuan dan kesadaran untuk memahami tujuan hidup, kecenderungan belajar dan gaya belajar yang dimiliki secara tidak langsung menghambat usaha-usaha dalam pengembangan diri, baik kepribadian, kompetensi serta kapasitas dan kapabilitas pribadi.

Output yang ingin dihasilkan dari penerapan heutagogi ini adalah generasi-generasi yang memiliki kompetensi tertentu dengan kapasitas mengembangkan dan kapabilitas menerapkannya pada berbagai situasi dan kondisi dilapangan yang selalu berubah dan berkembang atau dengan istilah lain generasi long life leaner.

Maka dalam  pendidikan 4.0  diarahkan pada penerapan heutagogi, maka kemampuan metakognitif, kemampuan memahami dan merumuskan visi ke depan harus mulai diajarkan sejak tingkat pendidikan awal.

Tidak sedikit generasi muda kita hari ini yang masih belum menentukan apa yang ingin dicapainya di masa depan atau tidak tahu sama sekali apa yang harus dicapai dan dilakukannya di masa depan. Meskipun memang, heutagogi masih belum cocok untuk diterapkan disemua bidang keilmuan, karena berpotensi menimbulkan kekacauan dalam hal penguasaan suatu keahlian tertentu. Heutagogi juga masih belum menemukan formulanya yang tepat untuk diterapkan pada jenjang pendidikan  awal. Inilah mungkin tantangan dalam penerapan heutagogi ke depan, yaitu menemukan dan memastikan suatu formula yang tepat untuk diterapkan pada semua jenjang pendidikan dan semua bidang kajian.
 
Tantangan dan bagainana penerapan heutagogy dalam  Education 4.0 itu. Menjadi pertanyaan apakah sistem pendidikan Indonesia telah siap di Era Education 4.0 itu?

jawabannya mari kita belajar bersama di Pusat Belajar Guru Kudus.

Pbg Kudus
PBG dari guru,  oleh dan untuk guru.
be smart inovasion teacher  for briliant students.

#Eni Kuswati & Eni Kuswati Subana

Postingan populer dari blog ini

Karateristik Budaya Dalam Interaksi sosial