IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF MELALUI METODE PEER LESSONS PADA MATA PELAJARAN IPS
PENDIDIKAN
NASIONAL DALAM ERA GLOBALISASI
MAKALAH
ENI KUSWATI, S.Pd, M.Pd
NIP 19751214 200801 2 002
DINAS
PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
KABUPATEN KUDUS
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Globalisasi adalah suatu proses
tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. “Globalisasi
pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian
ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh
dunia. (Menurut
Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Kehadiran globalisasi tentunya
membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh
tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.
Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik,
ekonomi, ideologi, sosial budaya dan pendidikan, dalam hal ini penulis
akan membahas masalah
pendidikan nasional dalam era globalisasi.
Pendidikan
dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan
dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut
pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses
demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa.
Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah
kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai
dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam
konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk
memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain
dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan
hanya (State Building) dan (Nation Building) melainkan juga (Capacity Building).
Birokrasi pendidikan di tingkat nasional
perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak
untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti Ujian nasional (UN).
Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap Kabupaten/Kota perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan
berbasis masyarakat namun bermutu tinggi.
Pendidikan
berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak
dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya
dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat
menjadi lebih baik
Globalisasi
ekonomi dan era Informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia
lulusan sekolah yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan
tetapi tidak setiap lulusan sekolah memiliki
jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan sekolah yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan sekolah dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan sekolah yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan sekolah dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Oleh karena
itu, agar supaya pendidikan mampu
memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah
inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era
informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar
lulusan sekolah di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya.
Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena
berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa
kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan.
Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi
pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya
memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator
bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori
(20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh
dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai
pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung
oleh fasilitas laboratorium yang memadai.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka penulis dapat merumuskan yang ditinjau dari dua isu kritis yang perlu kita
sikapi sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan di
Indonesia yaitu:
a.
Siapkah dunia pendidikan Indonesia
menghadapi globalisasi?
b.
Bagaimanakah cara penyesuian
pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini?.
Oleh sebab itu untuk melawan
globalisasi terutama dalam pendidikan, kita harus bisa menjaga eksistensi
sekolah.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Pendidikan
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia, 1889 - 1959) menjelaskan tentang pengertian
pendidikan yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani
anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
Pendidikan, menurut H. Horne, adalah
proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi
makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar
kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional
dan kemanusiaan dari manusia.
John Dewey, mengemukakan bahwa
pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin
akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang
muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk
menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan
perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Hal senada juga
dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar yang
dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang
hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam
berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
Thompson mengungkapkan bahwa
Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan
yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.
Ditegaskan oleh M.J. Longeveled bahwa Pendidikan
merupakan usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak
agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup
cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Prof. Richey dalam bukunya ‘Planning
for teaching, an Introduction to Education’ menjelaskan Istilah ‘Pendidikan’
berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan
suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi baru)
bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat.
Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh
bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah)
mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan
sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman,
dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan
santaan akal dan rohani.”
Plato (filosof Yunani yang hidup
dari tahun 429 SM-346 M) menjelaskan bahwa Pendidikan itu ialah membantu
perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan
tercapainya kesemurnaan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, tentang Pengertian Pendidikan, yang berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, tentang Pengertian Pendidikan, yang berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dari beberapa Pengertian Pendidikan diatas
dapat disimpulkan mengenai Pendidikan, bahwa Pendidikan merupakan Bimbingan
atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak
untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan
tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain” (Langeveld).
B.
Globalisasi
Globalisasi telah menjadi sebuah
kata yang memiliki makna tersendiri yang seringkali kita baca dan dengar.
Banyak pengguna istilah globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang
sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa diterima mengingat tidak ada definisi
yang tunggal terhadap globalisasi.
R. Robertson (1992:8) misalnya, merumuskan globalisasi
sebagai: "... the compression of the world and the intensification of
consciousness of the world as a whole."
P. Kotter (1995:42) mendeskripsikan globalisasi sebagai,
"...the product of many forces, some of which are political (no major
was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper
transportation and communication), and some of which are economic (mature firms
seeking growth outside their national boundaries)." Tetapi, dalam
tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte (2002:15-17) yang
menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang
umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi tersebut berkaitan
satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing
mengandung unsur yang khas.
C.
Desentralisasi dan Demokratisasi
pendidikan.
Perjalanan pendidikan nasional yang
panjang mencapai suatu masa yang demokratis kalau tidak dapat disebut liberal-
keika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrument
kebijakan, melalui UU No 2 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, privatisasi
perguruan tinggi negeri-dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
melalui PP No 60 tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang mengatur konsep, system dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga
kewenangan sector pendidikan yang digariskan pada pusat dan daerah. Dalam
konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insane –
insane akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara
demokratis, bukan menghancurkan bangsa
dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran
pendidikan (agama, moral dan kenegaraan)
yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya.Jika kita merujuk pada
undang-undang Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintah daerah. Ada dua konsepdesentralisasi
pendidikan.Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan.
Desentralisasi lebih kepada kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada
pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.Konsep
pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian
demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang
lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.
D.
8 Standar
Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ini merupakan penjabaran dari
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana
tercantum dalam ketentuan umum pasal 1 PP No. 19/2005, yang dimaksud dengan
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional
Pendidikan ini memiliki fungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Di samping itu, Standar Nasional Pendidikan memiliki tujuan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dari fungsi dan tujuan tersebut
dapat diketahui, bahwa standarisasi pendidikan nasional ini merupakan bentuk
ijtihad yang mencita-citakan suatu pendidikan nasional yang bermutu. Tidak
dapat dipungkiri, bahwa pada saat ini pendidikan nasional bisa dikatakan
sedikit tertinggal dengan negara-negara tetangga, atau bahkan jauh tertinggal
dengan negara-negara maju, seperti Amerika dan negara-negara eropa. Hal
tersebut dibuktikan dari tidak adanya perguruan tinggi di Indonesia yang masuk
dalam peringkat 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. Iklim politik dan
ekonomi nasional yang tidak menentu, di tambah lagi dengan perilaku korupsi
dari pejabat-pejabat negara yang bisa dibilang sudah membudaya, semakin
memperburuk citra pendidikan nasional di mata dunia. Maka akan timbul
pertanyaan, mau di arahkan kemana pendidikan nasional kita ? Oleh karena itu,
menjadi sebuah keniscayaan adanya perbaikan-perbaikan dan
penyempurnaan-penyempurnaan terhadap sistem pendidikan nasional dalam lingkup
makro, dan standar nasional pendidikan dalm lingkup mikro. Hal ini bertujuan
agar pendidikan nasional tidak selalu tertinggal dalam merespons tantangan dan
tuntutan perkembangan zaman. Sebagaimana termaktub dalam PP No. 19/2005 pasal 2
ayat 3: standar nasional pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah dan
berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global.
Dalam mengoperasionalisasikan
standar nasional pendidikan, pemerintah telah membentuk sebuah badan yang
bertugas memantau, mengembangkan dan melaporkan tingkat pencapaian standar
nasional pendidikan, badan yang dimaksud tersebut dikenal dengan nama Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini memiliki beberapa wewenang guna
menunjang pelaksanaan tugasnya sebagai pemantau dan pengembang standar nasional
pendidikan, wewenang tersebut meliputi:
1. Mengembangkan
standar nasional pendidikan
2. Menyelenggarakan
ujian nasional
3. Memberikan
rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan
4. Merumuskan
kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
Berdasarkan PP No. 19/2005, terdapat
delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh BSNP, yaitu:
1.
Standar Isi
Standar isi merupakan ruang lingkup materi
dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi
tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus
pembelajaran ayang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Standar isi ini memuat kerangka dasar, struktur kurikulum,
beban belajar, kurikulum tingkat satua pendidikan dan kalender
pendidikan/akademik.
2. Standar
Proses
Standar proses ini meliputi
pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan. (lihat bab IV pasal 19-24)
3.
Standar Kompetensi Lulusan
Standar ini merupakan kulifikasi
kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan.
(lihat bab V pasal 25-27)
4.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar ini merupakan standar
nasional tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru dan tanaga kependidikan
lainnya. (lihat bab VI pasal 28-41)
5. Standar
Sarana dan Prasarana
Standar ini merupakan kriteria
minimal tentang ruang belajar, perpustakaan, tempat olahraga, tempat ibadah,
tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar
lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini
termasuk pula penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. (lihat bab VII
pasal 42-48)
6. Standar
Pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan
pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan
pada tingkat nasional. tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan. (lihat bab VIII pasal 49-61)
7. Standar
Pembiayaan
Standar ini merupakan standar
nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan
pendidikan selama satu tahun. (lihat bab IX pasal 62)
8. Standar
Penilaian Pendidikan
Standar ini merupakan standar
nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian
hasil belajar peserta didik. Penilaian yang dimaksud di sini adalah penilaian
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi: penilaian hasil
belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian
hasil belajar oleh pemerintah. Sedangkan bagi pendidikan tinggi, penilaian
tersebut hanya meliputi: penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan
pendidikan. (lihat bab X pasal 63-72)
Dari kedelapan standar nasional ini
pada akhirnya akan bermuara pada suatu tujuan untuk menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat (lihat pasal 4). Oleh karena itu, pemerintah
mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal untuk
melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan secara bertahap, sistematis
dan terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas agar dapat
memenuhi atau bahkan melampaui standar nasional pendidikan.
E.
Dasar Hukum Pendidikan nasional
1.
Undang – undang Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
2.
Undang – undang nomor 32 tahun
2004 tentang otonomi daerah
3.
Peraturan pemerintah nomor 32
tahun 2007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerntah
daerah
4.
Peraturan pemerintah nomor 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
5.
Intruksi presiden nomor 5 tahun
2005 tentang gerakan nasional percepatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
dan pemebrantasan buta aksara.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Era Globalisasi
Era globalisasi akan ditandai dengan persaingan
ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi teknologi
informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan ini masih
dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa
dan Amerika Serikat.
Masing-masing menampilkan keunggulan yang dimiliki.
Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu teknologi yang
menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi yang tinggi,
contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan lain-lain.
Jerman dan Jepang mengandalkan kelebihan mereka dalam process
technology yaitu teknologi yang menghasilkan proses baru dalam pembuatan
suatu jenis produk yang sudah ada, misalnya CD (compact disc) pertama
kali dibuat oleh Belanda kemudian terus disempurnakan oleh Jepang sehingga
menghasilkan CD dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah. Selain
ketiganya, belakangan muncul Cina sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan
pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen –suatu jumlah tertinggi di dunia. Kompetisi ekonomi pada era globalisasi juga ditandai dengan adanya
perjalanan lalu lintas barang, jasa, modal serta tenaga kerja yang berlangsung
secara bebas, kemudian adanya tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin
tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula tingkat pendidikan yang
dituntut dari para pekerjanya. Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan
batasan antara satu orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok
lain, serta antara negara satu dengan negara lain. Komunikasi
antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan
informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi
informasi seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal
oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam hitungan detik.
Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di
atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut
setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa
yang yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya,
kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut. Di sinilah pendidikan diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu
mendidik dan menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified)
atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika
globalisasi tersebut. Dengan demikian, era globalisasi
adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin
Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk
globalisasi.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai
tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan
meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset
secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur
masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial
dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan
pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam
persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa
dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil
pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi
dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan
kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang
berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan
komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh
ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta
memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan
itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas,
sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan
profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
B.
Sumber-sumber Kelemahan Bersaing
Pendidikan
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan
seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program
pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan
di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani
permasalahan pendidikan ini.
Menurut
Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem
pendidikan di Indonesia:
1.
Titik berat pendidikan pada aspek
kognitif
2.
Pola evaluasi yang meninggalkan pola
pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3.
Sistem pendidikan yang bergeser
(tereduksi) ke pengajaran
4.
Kurangnya pembinaan minat belajar
pada siswa
5.
Kultur mengejar gelar (title)
atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6.
Praktik dan teori kurang berimbang
7.
Tidak melibatkan semua stake
holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8.
Profesi sekedar profesi ilmiah,
bukan kemanusiaan
9.
Problem nasional yang
multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan
tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan
tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM
Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu
hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, orientasi pendidikan harus lebih
ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih
menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan
keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami
kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan
aspek kognitif (pengetahuan).
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru
harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter
kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
Ketiga, guru harus benar-benar memahami
makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran
belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk
kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of
knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and
skill, serta pembentukan karakter (caracter building).
Keempat, perlunya pembinaan dan
pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik
sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan
yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih
penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan
yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang
berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan
praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus
dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan,
kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang
dimilikinya.
Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah
kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu
dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya.
Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap
manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia
kerja.
Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi
komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah,
sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat
ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya,
guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai
setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus
diperhatikan pemerintah.
Kesembilan, pemerintah
harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua
kebutuhan pendidikan. Salah satunya adalah memperhatikan fasilitas
pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari
total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam
menangani kebijakan pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan
kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya
sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang
menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam
(SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan
teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh
peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan
dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada
dasarnya berawal dari rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan
manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan
Indonesia kurang mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara
fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah
tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang
mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya,
seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang
tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib
institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan yang berada
pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The
Political and Eonomic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001, jauh di
bawh Vietnam (6).
Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas
lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja
berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi
rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa
ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain.
Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem
pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker
society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem
pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society.
Dalam konteks ini, Alvin Toffler dalam buku The
Future Shock (1972) mengatakan, employee dan worker itu
berbeda. (1) employee memiliki ciri untuk terus meningkatkan kemampuan
teknis termasuk keterampilannya, sedangkan worker menggunakan
keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat
mengendalikan alat (mesin), sedangkan worker relatif dikendalikan oleh
mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker
berkhidmat kepada mesin; (4) employee pada dasarnya tidak perlu diawasi
hanya perlu pembagian tanggung jawab, sedangkan worker harus diawasi
melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi
yaitu informasi, sedangkan worker tidak memilikinya.
Oleh karena itu, orientasi employee society
harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang
penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada
perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya.
Kita seharusnya belajar dari Jepang dan Korea Selatan.
Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena
dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer
ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.
Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D.
Sudjana (2000) memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku
yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
Pertama, emulasi. Yaitu
hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik
selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak
ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.
Kedua, consensus. Yaitu
kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya
kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap
kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi
pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang.
Ketiga, futurism. Yaitu
mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa
harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh
karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat
diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
Keempat, kualitas. Mutu
adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di
Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
Kelima, kompetisi. Artinya
sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.
C.
Pendidikan dan Kemampuan Bersaing
Bangsa
Kemampuan bersaing pendidikan kita menghadapi era
globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini
disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Sebagai contoh kita bisa melihat Tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun TKW
yang “diekspor” adalah tenaga buruh, seperti: pembantu rumah tangga,
perawat, buruh perkebunan, buruh bangunan, sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan
tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia adalah kalangan pengusaha,
investor dan pemilik perusahaan. Pekerja kita amat minim penguasaan
pengetahuannya serta rendah kemampuan bahasa asingnya, terutama Bahasa Inggris. Untuk melacak akar kelemahan SDM Indonesia ini bisa
dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini secara logis dimunculkan
pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam memperebutkan lapangan
kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah sector pendidikan.
Pendidikan harus benar-benar diberdayakan oleh kita
semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang akan mampu memberdayakan
masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam konteks persaingan global. Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha
dan proses pemberdayaan, yang benar-benar harus disadari secara kolektif, baik
oleh individu, keluarga, masyarakat, lebih-lebih oleh pemerintah sebagai
investasi masa depan bangsa.
Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting
dan strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini
tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya
sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh
pertimbangan empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang,
keberadaan sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan
semakin dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.
Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas
kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki
visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang
berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang
kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina
mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami
bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey)
kondisi ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF.
Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan
perekonomian nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti
pasar modal, bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi
internasional yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi
kebutuhan bangsa kita.
Tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga akan mengalami
pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih subur daripada rasa
kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih diterima masyarakat
ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara vertikal dan
horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan paternalistik.
Keterbukaan
(transparancy) akan diterima masyarakat. Di sisi lain, semangat
nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa kemajuan bangsa. Janganlah
alasan nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa maju dan berkembang.
Sebaliknya, semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan bangsa ini tercabik dan
terinveksi oleh virus globalisasi.
Semua itu,
sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan antisipasi pendidikan, apakah
pendidikan kita mampu mengakomodasi dan memberikan solusi dalam upaya memajukan
dan memenangkan kompetisi global yang keras dan ketat, ataukah justru
terbelenggu dan asik dalam lingkaran globalisasi.
D. Standar
Nasional Pendidikan
Untuk
menjawab tantangan jaman di era globalisasi maka pemerintah menetapkan standar
nasional untuk mencapai dan menciptakan manusia indonesia yang berkualitas dan
siap bersaing dengan negara – negara lain, maka dalam hal ini BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan ) diberi tugas
untuk mengimplementasikan SNP (Standar Nasional Pendidikan) agar dapat di
jadikan sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum NKRI. Sehingga SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang
bermutu. Dalam Pasal 1 ayat (17) Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Yungto pasal 1 ayat (1) PP No. 19 2005 dinyatakan
bahwa lingkup dari SNP meliputi 8 standar yaitu :
1.
standar Isi
2.
standar Proses
3.
Standar Kompetensi Lulusan
4.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
5.
Standar Sarana dan Prasarana
6.
Standar Pengelolaan
7.
Standar Pembiyaan
8.
Standar Penilaian.
Bila kita cermati bahwa standar peneliaian pendidikan
adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur
dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Pada Peraturan Pemerintah
tersebut diamanatkan tiga jenis penilaian yaitu :
1.
Penilaian
yang dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran,
2.
Penilaian oleh satuan pendidikan bertujuan menilai
pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran sesuai
programnya sebagai bentuk traspiransi, profesional dan akuntabel lembaga,
3.
Penilaian oleh pemerintah bertujuan menilai pencapaian
kompetensi secara nasional pada mata pelajaran tertentu.
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di
mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga
merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang
lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia.
Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat
meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan
memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta
memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Paling tidak, ada tiga dampak globalisasi
yang akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan
menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham
neoliberalisme yang melanda dunia. Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol
pendidikan oleh negara. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan
perubahan teknologi dan orientasi pendidikan.
Diakui
atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem
pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan
khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan
agama dan pendidikan umum.
Cara penyesuaian pendidikan
Indonesia di era globalisasi sekarang ini adalah visioning, repositioning
strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah
beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas,
tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan
yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga
bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai
pemenang dalam globalisasi.
Daftar Pustaka
octavianus,
Petrus. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya
(2030-2055) jilid I. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005
Prof. Dr. Suyono,M.Pd, Drs. Haryanto,M.s,2011, Belajar dan Pembelajaran,
Teori dan Konsep dasar, Rosda, Bandung
Al-Syabani,Omar Muhammad al-Toumy,Filsafat
Pendidikan Islam.(alih bahasa) Hasan Langgulung.Jakarta:Bulan Bintang.1979
Khairuddin dkk,Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Madrasah
Development Center (MDC) Pilar media jateng: semarang,2007
Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:Gaya Media Pratama. 2005
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Sanjaya,WinaStrategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta: Kencana.2011
Tim Penyusunan Kamus, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.1989. Cet. II
Undang-Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Peraturan
Pemerintah R.I.Tahun 2010.Bandung:Citra Umbara.2013
Undang-Undang
R.I Nomor 14 tahun2005 dan Peraturan menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 11
tahun 2011 Tentang Guru dan Dosen.Bandung:Citra
Umbara. 2012