IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF MELALUI METODE PEER LESSONS PADA MATA PELAJARAN IPS



PENDIDIKAN NASIONAL DALAM ERA GLOBALISASI




MAKALAH



 

ENI KUSWATI, S.Pd, M.Pd
NIP 19751214 200801 2 002







DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
KABUPATEN  KUDUS
2015/2016









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan pendidikan, dalam hal ini penulis akan membahas masalah pendidikan nasional dalam era globalisasi.
Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.  Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.  
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya (State Building) dan (Nation Building) melainkan juga (Capacity Building).  Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti Ujian nasional (UN). Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap Kabupaten/Kota perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi.
Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik
Globalisasi ekonomi dan era Informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia lulusan sekolah yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan tetapi tidak setiap lulusan sekolah memiliki jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan
sekolah  yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan sekolah  dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Oleh karena itu, agar supaya pendidikan mampu memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar lulusan sekolah di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya. Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori (20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung oleh fasilitas laboratorium yang memadai.
1.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat merumuskan yang ditinjau dari dua isu kritis yang perlu kita sikapi sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan di Indonesia yaitu:
a.       Siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?
b.      Bagaimanakah cara penyesuian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini?.
Oleh sebab itu untuk melawan globalisasi terutama dalam pendidikan, kita harus bisa menjaga eksistensi sekolah.



BAB II
KAJIAN TEORI

A.    Pengertian Pendidikan
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, 1889 - 1959) menjelaskan tentang pengertian pendidikan  yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
Pendidikan, menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Hal senada juga dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
Thompson mengungkapkan bahwa Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya.
Ditegaskan oleh M.J. Longeveled bahwa Pendidikan merupakan usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Prof. Richey dalam bukunya ‘Planning for teaching, an Introduction to Education’ menjelaskan Istilah ‘Pendidikan’ berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama membawa warga masyarakat yang baru (generasi baru) bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat.
Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.”
Plato (filosof Yunani yang hidup dari tahun 429 SM-346 M) menjelaskan bahwa Pendidikan itu ialah membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesemurnaan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, tentang
Pengertian Pendidikan, yang berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dari beberapa Pengertian Pendidikan diatas dapat disimpulkan mengenai Pendidikan, bahwa Pendidikan merupakan Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain” (Langeveld).
B.     Globalisasi
Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri yang seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.
R. Robertson (1992:8) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai: "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole."
P. Kotter (1995:42) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature firms seeking growth outside their national boundaries)." Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte (2002:15-17) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas.
C.    Desentralisasi dan Demokratisasi pendidikan.
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis kalau tidak dapat disebut liberal- keika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrument kebijakan, melalui UU No 2 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, privatisasi perguruan tinggi negeri-dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik  Negara (BHMN) melalui PP No 60 tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengatur konsep, system dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan sector pendidikan yang digariskan pada pusat dan daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insane – insane akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya.Jika kita merujuk pada undang-undang Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintah daerah. Ada dua konsepdesentralisasi pendidikan.Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
D.    8 Standar Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum pasal 1 PP No. 19/2005, yang dimaksud dengan Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan ini memiliki fungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Di samping itu, Standar Nasional Pendidikan memiliki tujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dari fungsi dan tujuan tersebut dapat diketahui, bahwa standarisasi pendidikan nasional ini merupakan bentuk ijtihad yang mencita-citakan suatu pendidikan nasional yang bermutu. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada saat ini pendidikan nasional bisa dikatakan sedikit tertinggal dengan negara-negara tetangga, atau bahkan jauh tertinggal dengan negara-negara maju, seperti Amerika dan negara-negara eropa. Hal tersebut dibuktikan dari tidak adanya perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam peringkat 100 perguruan tinggi terbaik di dunia. Iklim politik dan ekonomi nasional yang tidak menentu, di tambah lagi dengan perilaku korupsi dari pejabat-pejabat negara yang bisa dibilang sudah membudaya, semakin memperburuk citra pendidikan nasional di mata dunia. Maka akan timbul pertanyaan, mau di arahkan kemana pendidikan nasional kita ? Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan adanya perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap sistem pendidikan nasional dalam lingkup makro, dan standar nasional pendidikan dalm lingkup mikro. Hal ini bertujuan agar pendidikan nasional tidak selalu tertinggal dalam merespons tantangan dan tuntutan perkembangan zaman. Sebagaimana termaktub dalam PP No. 19/2005 pasal 2 ayat 3: standar nasional pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Dalam mengoperasionalisasikan standar nasional pendidikan, pemerintah telah membentuk sebuah badan yang bertugas memantau, mengembangkan dan melaporkan tingkat pencapaian standar nasional pendidikan, badan yang dimaksud tersebut dikenal dengan nama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP ini memiliki beberapa wewenang guna menunjang pelaksanaan tugasnya sebagai pemantau dan pengembang standar nasional pendidikan, wewenang tersebut meliputi:
1.      Mengembangkan standar nasional pendidikan
2.      Menyelenggarakan ujian nasional
3.      Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan
4.      Merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan PP No. 19/2005, terdapat delapan standar pendidikan nasional yang digarap oleh BSNP, yaitu:
1.      Standar Isi
Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran ayang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi ini memuat kerangka dasar, struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satua pendidikan dan kalender pendidikan/akademik.
2.      Standar Proses
Standar proses ini meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. (lihat bab IV pasal 19-24)
      3.      Standar Kompetensi Lulusan
Standar ini merupakan kulifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. (lihat bab V pasal 25-27)
       4.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru dan tanaga kependidikan lainnya. (lihat bab VI pasal 28-41)
5.      Standar Sarana dan Prasarana
Standar ini merupakan kriteria minimal tentang ruang belajar, perpustakaan, tempat olahraga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk pula penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. (lihat bab VII pasal 42-48)
6.      Standar Pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pada tingkat nasional. tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. (lihat bab VIII pasal 49-61)
7.      Standar Pembiayaan
Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun. (lihat bab IX pasal 62)
8.      Standar Penilaian Pendidikan
Standar ini merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian yang dimaksud di sini adalah penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi: penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Sedangkan bagi pendidikan tinggi, penilaian tersebut hanya meliputi: penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan. (lihat bab X pasal 63-72)
Dari kedelapan standar nasional ini pada akhirnya akan bermuara pada suatu tujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (lihat pasal 4). Oleh karena itu, pemerintah mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan secara bertahap, sistematis dan terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas agar dapat memenuhi atau bahkan melampaui standar nasional pendidikan.
E.     Dasar Hukum Pendidikan nasional
1.      Undang – undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
2.      Undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah
3.      Peraturan pemerintah nomor 32 tahun 2007 tentang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerntah daerah
4.      Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
5.      Intruksi presiden nomor 5 tahun 2005 tentang gerakan nasional percepatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan pemebrantasan buta aksara. 






BAB III
PEMBAHASAN

A.     Karakteristik Era Globalisasi
Era globalisasi akan ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat.  Masing-masing menampilkan keunggulan yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi yang  tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan lain-lain.
Jerman dan Jepang mengandalkan kelebihan mereka dalam process technology yaitu teknologi yang menghasilkan proses baru dalam pembuatan suatu jenis produk yang sudah ada, misalnya CD (compact disc) pertama kali dibuat oleh Belanda kemudian terus disempurnakan oleh Jepang sehingga menghasilkan CD dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah. Selain ketiganya, belakangan muncul Cina sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen –suatu jumlah tertinggi di dunia. Kompetisi ekonomi pada era globalisasi juga ditandai dengan adanya perjalanan lalu lintas barang, jasa, modal serta tenaga kerja yang berlangsung secara bebas, kemudian adanya tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan batasan antara satu orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, serta antara negara satu dengan negara lain. Komunikasi  antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi informasi  seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam hitungan detik.
Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut. Di sinilah pendidikan diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut. Dengan demikian, era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi.
Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).
Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.
Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.
Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.
Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.


B.     Sumber-sumber Kelemahan Bersaing Pendidikan
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program pendidikan.   Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini.
Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:
1.      Titik berat pendidikan pada aspek kognitif
2.      Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif
3.      Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran
4.      Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa
5.      Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah).
6.      Praktik dan teori kurang berimbang
7.      Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah
8.      Profesi sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan
9.      Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.
Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam  mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).
Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.
Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge  tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building).
Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.
Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan  kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.
Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin   bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara  teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja.
Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.
Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan pemerintah.
Kesembilan, pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah  satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.
Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan   kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.
Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya  tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang  mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.
Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan  yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy  (PERC) tahun 2001, jauh di bawh Vietnam (6).
Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.
Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain.
Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society.
Dalam konteks ini,  Alvin Toffler dalam buku The Future Shock (1972) mengatakan,  employee dan worker itu berbeda. (1) employee memiliki ciri untuk terus meningkatkan kemampuan teknis termasuk keterampilannya, sedangkan worker menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat mengendalikan alat (mesin), sedangkan worker relatif dikendalikan oleh mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker berkhidmat kepada mesin; (4) employee pada dasarnya tidak perlu diawasi hanya perlu pembagian tanggung jawab, sedangkan worker harus diawasi melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi yaitu  informasi, sedangkan worker tidak memilikinya.
Oleh karena itu, orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya.
Kita seharusnya belajar dari Jepang dan Korea Selatan. Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.
Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana (2000)  memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:
Pertama, emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.
Kedua, consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang.
Ketiga, futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.
Keempat, kualitas. Mutu  adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).
Kelima, kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.
C.     Pendidikan dan Kemampuan Bersaing Bangsa
Kemampuan bersaing pendidikan kita menghadapi era globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Sebagai contoh kita bisa melihat Tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun TKW yang “diekspor” adalah tenaga buruh,  seperti: pembantu rumah tangga, perawat, buruh perkebunan, buruh bangunan, sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia adalah kalangan pengusaha, investor dan pemilik perusahaan. Pekerja kita amat minim penguasaan pengetahuannya serta rendah kemampuan bahasa asingnya, terutama Bahasa Inggris. Untuk melacak akar kelemahan SDM Indonesia ini bisa dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini secara logis dimunculkan pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam memperebutkan lapangan kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah sector pendidikan.
Pendidikan harus benar-benar diberdayakan oleh kita semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang akan mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam konteks persaingan global. Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar harus disadari secara kolektif, baik oleh individu, keluarga, masyarakat, lebih-lebih oleh pemerintah  sebagai investasi masa depan bangsa.
Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dan strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh pertimbangan empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang, keberadaan sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan semakin dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.
Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey) kondisi  ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF.
Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan perekonomian nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti pasar modal, bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi internasional yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi kebutuhan bangsa kita.
Tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga akan mengalami pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih subur daripada rasa kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih diterima masyarakat ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara vertikal dan horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan paternalistik.
Keterbukaan (transparancy) akan diterima masyarakat. Di sisi lain, semangat nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa kemajuan bangsa. Janganlah alasan nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa maju dan berkembang. Sebaliknya, semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan bangsa ini tercabik dan terinveksi oleh virus globalisasi.
Semua itu, sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan antisipasi pendidikan, apakah pendidikan kita mampu mengakomodasi dan memberikan solusi dalam upaya memajukan dan memenangkan kompetisi global yang keras dan ketat, ataukah justru terbelenggu dan asik dalam lingkaran globalisasi.
D.     Standar Nasional Pendidikan
Untuk menjawab tantangan jaman di era globalisasi maka pemerintah menetapkan standar nasional untuk mencapai dan menciptakan manusia indonesia yang berkualitas dan siap bersaing dengan negara – negara lain, maka dalam hal ini BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan ) diberi tugas untuk mengimplementasikan SNP (Standar Nasional Pendidikan) agar dapat di jadikan sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI. Sehingga SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Dalam Pasal 1 ayat (17) Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Yungto pasal 1 ayat (1) PP No. 19 2005 dinyatakan bahwa lingkup dari SNP meliputi 8 standar yaitu :
1.      standar Isi
2.       standar Proses
3.      Standar Kompetensi Lulusan
4.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
5.      Standar Sarana dan Prasarana
6.      Standar Pengelolaan
7.      Standar Pembiyaan
8.      Standar Penilaian.
Bila kita cermati bahwa standar peneliaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Pada Peraturan Pemerintah tersebut diamanatkan tiga jenis penilaian yaitu :
1.      Penilaian yang dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil pembelajaran,
2.       Penilaian oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran sesuai programnya sebagai bentuk traspiransi, profesional dan akuntabel lembaga,
3.       Penilaian oleh pemerintah bertujuan menilai pencapaian kompetensi secara nasional pada mata pelajaran tertentu.




BAB IV
KESIMPULAN

            Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
      Paling tidak, ada tiga dampak globalisasi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda dunia. Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan.
               Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum.
Cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.














Daftar Pustaka
octavianus, Petrus. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia Adidaya (2030-2055) jilid I. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005

Prof. Dr. Suyono,M.Pd, Drs. Haryanto,M.s,2011, Belajar dan Pembelajaran, Teori dan Konsep dasar, Rosda, Bandung

Al-Syabani,Omar Muhammad al-Toumy,Filsafat Pendidikan Islam.(alih bahasa) Hasan Langgulung.Jakarta:Bulan Bintang.1979

Khairuddin dkk,Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Madrasah Development Center (MDC) Pilar media jateng: semarang,2007

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:Gaya Media Pratama. 2005
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

Sanjaya,WinaStrategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta: Kencana.2011

Tim Penyusunan Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.1989. Cet. II

Undang-Undang  R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pemerintah R.I.Tahun 2010.Bandung:Citra Umbara.2013

Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun2005 dan Peraturan menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 11 tahun 2011 Tentang Guru dan Dosen.Bandung:Citra Umbara. 2012





Postingan populer dari blog ini

Karateristik Budaya Dalam Interaksi sosial